Sabtu, 09 Oktober 2010

Haris Ahmad [dot] com

Haris Ahmad [dot] com


Lenong Betawi – Lenong Denes

Posted: 07 Oct 2010 10:49 AM PDT

Lenong Betawi, sebagian orang pasti sering mendengar dan mengetahui istilah Lenong Betawi. Lenong adalah teater atau seni peran tradisional Betawi. Lenong biasanya diiringi oleh musik gambang kromong dengan alat alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan. Dan juga alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong.

Dalam cerita Lenong Betawi lakon atau skenario umumnya mengandung nasihat dan pesan moral dengan jenaka. Bahasa yang digunakan dalam Lenong betawi adalah bahasa Melayu (kini bahasa Indonesia) dengan dialek Betawi.

DalamLenong Betawi terdapat dua jenis cerita, yaitu cerita tentang kerajaan atau kaum bangsawan (disebut Lenong Denes) dan cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari dan para jagoannya (disebut Lenong Preman).

Sebutan Lenong Denes disebabkan karena yang dikasihkan adalah orang-orang atau tokoh-tokoh yang berkedudukan tinggi, orang-orang “dines” atau “denes”. Sesuai dengan jalan cerita yang mengisahkan lingkungan bangsawan, maka pakaian dan perlengkapannya pun sudah barang tentu di sesuaikan dengan kebutuhan itu.

Lain dari pada itu, bahasa yang digunakan dalam pentaspun, bukan bahasa Betawi sehari-hari, melainkan bahasa “Melayu Tinggi”, dengan kata-kata ; “hamba”, “kakanda”, “adinda”, “beliau”, “daulat tuanku”, “syahdan”, berdatang sembah dan sebagainya. Bahasa demikian dewasa ini sudah sedikit sekali yang dapat menghayati, termasuk para seniman lenong sendiri. Oleh karena itu pula makin menyusut peminatnya.

Lenong Denes biasa bermain diatas panggung, berukuran lebih 5 x 7 meter. Tempat seluas itu dibagi dua, sebagian untuk tempat pemain berhias, ganti pakaian, duduk-duduk menunggu saat untuk tampil. Sebagian lagi digunakan sebagai pentas. Alat musik ditata panggung, sebelah kanan dan sebelah kiri pentas.

Penggunaan dekor adalah untuk menyatakan susunan dalam adegan-adegan. Tetapi pada kenyataannya, penggunaannya sering tidak tepat, karena terbtasnya persediannya dekor atau kadang-kadang karena kurang cermatnya pengatur dekor itu sendiri dalam menyesuaikan situasi, ruang dan waktu. Misalnya menurut cerita sang puteri sedang bercengkrama di tamansari, disertai dayang-dayangnya, ternyata dekornya menggambarkan kota metropolitan dan gedung-gedung tinggi, mobil sedan berseliweran dijalan.

Pakaian pentas sudah barang sedapat mungkin disesuaikan dengan lakon. Membawa cerita “Pho Sio Litan”, yang menceritakan suka derita seorang putera raja Cina, wanitanya memakai celana longgar yang ujung bawahnya diikatkan, baju kurung bersulam, rambutnya disanggul diatas tengkuk dan sebagainya.

Pria berbaju “koko” berwarna menyala,cekana longgar dari “sutera” dan sebagainya. Perkelahian dalam pentas digambarkan dengan gerak silat yang tampak seperti perkelahian dalam pentas digambarkan dengan gerak silat yang tampak seperti perkelahian sungguh-sungguh, ada juga menggunakan pedang, bermain anggar, disertai gerak-gerak akrobatik yang mengesankan. Sebelum pertunjukan dimulai, biasa diselenggarakam upacara “ukup” dengan disediakan sesajen serta pembakaran kemenyan atau “hioh”.

Referensi : Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta dan Wikipedia.org

Postingan Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar